Pasti terbenak di kepala kita siapakah Baharuddin Lopa dan Laica Marzuki itu? teman-teman dari Universitas Hasanuddin pasti mengetahui siapa kedua orang ini mengingat jasa dan prestasi yang mereka bangun khususnya untuk Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Berikut akan kami jelaskan siapakah Baharuddin Lopa dan Laica Marzuki :
Baharuddin Lopa (1935-2001)
Baharuddin
Lopa, S.H. (lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27
Agustus 1935 – meninggal di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 pada umur 65 tahun)
adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3
Juli 2001. Baharuddin Lopa juga adalah mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi.
Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas HAM.
Baharuddin Lopa, yang ketika itu menjabat sebagai
Jaksa Agung. Orang memang mengenalnya tidak hanya sebagai penegak hukum yang
tangguh, namun juga penuh kesederhanaan dan memiliki jiwa integritas tinggi.
Seorang mantan ajudannya, ketika Lopa menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, pernah pula bertutur. Alkisah, suatu hari selepas kunjungan kerja di sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, pria kelahiran Mandar, 27 Agustus 1935 tersebut mendapati meteran bensin mobil dinasnya bergerak ke arah ‘F’, hampir penuh. Lopa merasa heran, karena seingatnya, ketika tiba di tujuan sesaat sebelumnya, meteran masih menggantung di bawah, bahkan nyaris mendekati tanda ‘E’. Lopa pun bertanya perihal bensin tersebut. Dari jawaban sang ajudan, Lopa akhirnya mengerti kalau ternyata bensin yang bertambah tersebut adalah pemberian dari pejabat setempat.
Tanpa membuang-buang waktu, Lopa memerintahkan sang ajudan untuk kembali ke tempat semula. Ditemuinya sang pejabat setempat itu, dan memintanya menyedot kembali bensin yang sudah diberikannya tadi. Alasan Lopa ketika itu sederhana namun rasional. Katanya, “Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai.”
Lopa memang amat disiplin mempergunakan fasilitas negara. Apapun labelnya, entah mobil dinas atau apa saja, jika pada akhirnya dipergunakan di luar yang seharusnya, dengan keras akan dia tolak. Bagi Lopa, lebih baik hidup sederhana dan bersusah-payah membuka usaha kecil-kecilan di rumah, daripada memakai uang milik negara, milik rakyat.
Kesederhanaannya bukan penghalang baginya untuk bersikap tegas. Baginya, hukum adalah panglima, dan dia siap melesakkan pedang keadilan kepada siapapun, termasuk kepada para koruptor negeri ini. “Walaupun esok langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” begitu salah satu ungkapannya yang amat terkenal.
Seorang mantan ajudannya, ketika Lopa menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, pernah pula bertutur. Alkisah, suatu hari selepas kunjungan kerja di sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, pria kelahiran Mandar, 27 Agustus 1935 tersebut mendapati meteran bensin mobil dinasnya bergerak ke arah ‘F’, hampir penuh. Lopa merasa heran, karena seingatnya, ketika tiba di tujuan sesaat sebelumnya, meteran masih menggantung di bawah, bahkan nyaris mendekati tanda ‘E’. Lopa pun bertanya perihal bensin tersebut. Dari jawaban sang ajudan, Lopa akhirnya mengerti kalau ternyata bensin yang bertambah tersebut adalah pemberian dari pejabat setempat.
Tanpa membuang-buang waktu, Lopa memerintahkan sang ajudan untuk kembali ke tempat semula. Ditemuinya sang pejabat setempat itu, dan memintanya menyedot kembali bensin yang sudah diberikannya tadi. Alasan Lopa ketika itu sederhana namun rasional. Katanya, “Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai.”
Lopa memang amat disiplin mempergunakan fasilitas negara. Apapun labelnya, entah mobil dinas atau apa saja, jika pada akhirnya dipergunakan di luar yang seharusnya, dengan keras akan dia tolak. Bagi Lopa, lebih baik hidup sederhana dan bersusah-payah membuka usaha kecil-kecilan di rumah, daripada memakai uang milik negara, milik rakyat.
Kesederhanaannya bukan penghalang baginya untuk bersikap tegas. Baginya, hukum adalah panglima, dan dia siap melesakkan pedang keadilan kepada siapapun, termasuk kepada para koruptor negeri ini. “Walaupun esok langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” begitu salah satu ungkapannya yang amat terkenal.
Ia meninggal dunia di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh,
pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB di Arab Saudi akibat gangguan
pada jantungnya.
Laica Marzuki
Ia
memulai kariernya sebagai Jaksa Muda Kejaksaan Negeri Sungguminasa, Sulawesi
Selatan (1961). Alumnus sarjana hukum dari FH Universitas Hasanuddin (Unhas)
(1979), Makassar, ini selama 28 tahun aktif sebagai anggota Tim Pembela di Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Unhas(1972-2000).
Sebelumnya, ia pernah aktif bekerja di sebuah
perusahaan swasta dengan jabatan terakhir sebagai General Manager Indonesia
Pearl Company Ltd. (1963-1969). Selain itu ia cukup lama menjadi lawyer di
beberapa perusahaan, yaitu PT Perkebunan Nusantara XIV Persero (1979-2000), PT
INCO Soroako (1980-2000), dan Foster Parents Plan International (1982-2000). Ia
juga pernah menjadi lawyer PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation
(1997-2000), Siemens Telecomunication Project Office (1998), Makassar.
Suami Nurbaya ini pernah pula menjadi Ketua Pusat
Pelayanan Hukum “Kencana Keadilan” (KENDI), Makassar (1983-1986), Kepala Kantor
Pengacara “The Justice Boulevard” (1986-2000) dan Kepala Pusat Bantuan dan
Penyuluhan Hukum (PBPH) LPPM Unhas (1996-2000).
Dalam perjalanan kariernya, pria yang pernah
mengikuti studi di Leiden (Sandwich Programme, 1984-1985) dan Utrecht
(1989-1990), Belanda, ini juga aktif berkiprah dalam dunia pendidikan. Jebolan
doktor dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini menjadi pengajar di
almamaternya FH Unhas. Mulanya bapak tiga anak ini menjadi asisten luar biasa
(1969-1972), kemudian diangkat menjadi dosen tetap dengan status Pegawai Negeri
Sipil (1972-2000).
Kariernya terus meningkat, antara lain ketika Unhas
memberikan kepercayaan kepada dirinya untuk menjabat Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Unhas (1996-2000) dan anggota Dewan Pakar
Laboratorium Hukum FH Unhas (1999-2000). Selain aktif mengajar di almamaternya,
ia juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Muslimin Indonesia (UMI),
Makassar (1996-2000), STIA LAN, Makassar (1997-2000), dan Pascasarjana Institut
Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Makasssar (1998-2000).
Ia telah lama menetap di Makassar. Di kota ini ia banyak
diminta jasanya oleh pemerintah daerah dan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia
pernah menjadi Kuasa Hukum/Konsultan, Kuasa Hukum Tetap Gubernur Sulawesi
Selatan (1998-2000), Staf Ahli Walikota Ujungpandang (1997-2000), dan Staf Ahli
Kantor Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pare-Pare, Sulawesi
Selatan (2000).
Ia juga diserahi tanggung jawab menjadi Pengarah Tim
Penyusun Pola Dasar Pembangunan Kota Makassar (1999-2000) dan Pengarah Tim
Penyusun/Perumus Visi dan Misi Kota Makassar (1999-2000). Pria yang hobi
membaca puisi dan novel ini pernah mewakili Unhas menjadi anggota Proyek
Peningkatan Pengawasan Norma Kerja pada Dirjen Bina Lindung. Ia juga dilibatkan
menjadi anggota Dewan Pakar Tim Pengelola Studi dan Pengkajian Masalah Hak-hak Asasi
Manusia, Makassar (2000).
Pria yang aktif di organisasi Korpri dan Ikahi ini
menjadi anggota Dewan Penasihat DPD Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB)
Tingkat I Sulawesi Selatan (1999-2000) dan Ketua Komisi Pendidikan Dewan
Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN)
se-Indonesia (2000).
Sejak 2000 hingga Agustus 2003, pria yang mempunyai
motto “keadilan bagi orang-orang kecil bermakna keadilan bagi semua orang” ini
mengabdi sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung (MA). Pada usia 62 tahun, atas
pilihan MA, ia diangkat menjadi hakim konstitusi pada MK.
Mohammad Laica Marzuki (kelahiran Tekolampe, Sinjai,
Sulawesi Selatan, 5 Mei 1941) adalah seorang hakim konsitusi pada Mahkamah
Konstitusi.
0 komentar:
Posting Komentar