Sabtu, 25 Mei 2013

Sekilas tentang Baharuddin Lopa dan Laica Marzuki

KERTAS Nasional 2013 yang diselenggarakan oleh UKM Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah (LP2KI) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin memiliki 2 kategori Piala yaitu Piala Baharuddin Lopa untuk Juara LKTM dan Piala Laica Marzuki untuk Juara Esai

Pasti terbenak di kepala kita siapakah Baharuddin Lopa dan Laica Marzuki itu? teman-teman dari Universitas Hasanuddin pasti mengetahui siapa kedua orang ini mengingat jasa dan prestasi yang mereka bangun khususnya untuk Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Berikut akan kami jelaskan siapakah Baharuddin Lopa dan Laica Marzuki :


Baharuddin Lopa (1935-2001)


Baharuddin Lopa, S.H. (lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27 Agustus 1935 – meninggal di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 pada umur 65 tahun) adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001. Baharuddin Lopa juga adalah mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas HAM.
Baharuddin Lopa, yang ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung. Orang memang mengenalnya tidak hanya sebagai penegak hukum yang tangguh, namun juga penuh kesederhanaan dan memiliki jiwa integritas tinggi.

Seorang mantan ajudannya, ketika Lopa menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, pernah pula bertutur. Alkisah, suatu hari selepas kunjungan kerja di sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, pria kelahiran Mandar, 27 Agustus 1935 tersebut mendapati meteran bensin mobil dinasnya bergerak ke arah ‘F’, hampir penuh. Lopa merasa heran, karena seingatnya, ketika tiba di tujuan sesaat sebelumnya, meteran masih menggantung di bawah, bahkan nyaris mendekati tanda ‘E’. Lopa pun bertanya perihal bensin tersebut. Dari jawaban sang ajudan, Lopa akhirnya mengerti kalau ternyata bensin yang bertambah tersebut adalah pemberian dari pejabat setempat.

Tanpa membuang-buang waktu, Lopa memerintahkan sang ajudan untuk kembali ke tempat semula. Ditemuinya sang pejabat setempat itu, dan memintanya menyedot kembali bensin yang sudah diberikannya tadi. Alasan Lopa ketika itu sederhana namun rasional. Katanya, “Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai.”

Lopa memang amat disiplin mempergunakan fasilitas negara. Apapun labelnya, entah mobil dinas atau apa saja, jika pada akhirnya  dipergunakan di luar yang seharusnya, dengan keras akan dia tolak. Bagi Lopa, lebih baik hidup sederhana dan bersusah-payah membuka usaha kecil-kecilan di rumah, daripada memakai uang milik negara, milik rakyat.

Kesederhanaannya bukan penghalang baginya untuk bersikap tegas.  Baginya, hukum adalah panglima, dan dia siap melesakkan pedang keadilan kepada siapapun, termasuk kepada para koruptor negeri ini. “Walaupun esok langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” begitu salah satu ungkapannya yang amat terkenal.
Ia meninggal dunia di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB di Arab Saudi akibat gangguan pada jantungnya.




Laica Marzuki

Ia memulai kariernya sebagai Jaksa Muda Kejaksaan Negeri Sungguminasa, Sulawesi Selatan (1961). Alumnus sarjana hukum dari FH Universitas Hasanuddin (Unhas) (1979), Makassar, ini selama 28 tahun aktif sebagai anggota Tim Pembela di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Unhas(1972-2000).
Sebelumnya, ia pernah aktif bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan jabatan terakhir sebagai General Manager Indonesia Pearl Company Ltd. (1963-1969). Selain itu ia cukup lama menjadi lawyer di beberapa perusahaan, yaitu PT Perkebunan Nusantara XIV Persero (1979-2000), PT INCO Soroako (1980-2000), dan Foster Parents Plan International (1982-2000). Ia juga pernah menjadi lawyer PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation (1997-2000), Siemens Telecomunication Project Office (1998), Makassar.
Suami Nurbaya ini pernah pula menjadi Ketua Pusat Pelayanan Hukum “Kencana Keadilan” (KENDI), Makassar (1983-1986), Kepala Kantor Pengacara “The Justice Boulevard” (1986-2000) dan Kepala Pusat Bantuan dan Penyuluhan Hukum (PBPH) LPPM Unhas (1996-2000).
Dalam perjalanan kariernya, pria yang pernah mengikuti studi di Leiden (Sandwich Programme, 1984-1985) dan Utrecht (1989-1990), Belanda, ini juga aktif berkiprah dalam dunia pendidikan. Jebolan doktor dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini menjadi pengajar di almamaternya FH Unhas. Mulanya bapak tiga anak ini menjadi asisten luar biasa (1969-1972), kemudian diangkat menjadi dosen tetap dengan status Pegawai Negeri Sipil (1972-2000).
Kariernya terus meningkat, antara lain ketika Unhas memberikan kepercayaan kepada dirinya untuk menjabat Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unhas (1996-2000) dan anggota Dewan Pakar Laboratorium Hukum FH Unhas (1999-2000). Selain aktif mengajar di almamaternya, ia juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Muslimin Indonesia (UMI), Makassar (1996-2000), STIA LAN, Makassar (1997-2000), dan Pascasarjana Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Makasssar (1998-2000).
Ia telah lama menetap di Makassar. Di kota ini ia banyak diminta jasanya oleh pemerintah daerah dan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia pernah menjadi Kuasa Hukum/Konsultan, Kuasa Hukum Tetap Gubernur Sulawesi Selatan (1998-2000), Staf Ahli Walikota Ujungpandang (1997-2000), dan Staf Ahli Kantor Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pare-Pare, Sulawesi Selatan (2000).
Ia juga diserahi tanggung jawab menjadi Pengarah Tim Penyusun Pola Dasar Pembangunan Kota Makassar (1999-2000) dan Pengarah Tim Penyusun/Perumus Visi dan Misi Kota Makassar (1999-2000). Pria yang hobi membaca puisi dan novel ini pernah mewakili Unhas menjadi anggota Proyek Peningkatan Pengawasan Norma Kerja pada Dirjen Bina Lindung. Ia juga dilibatkan menjadi anggota Dewan Pakar Tim Pengelola Studi dan Pengkajian Masalah Hak-hak Asasi Manusia, Makassar (2000).
Pria yang aktif di organisasi Korpri dan Ikahi ini menjadi anggota Dewan Penasihat DPD Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) Tingkat I Sulawesi Selatan (1999-2000) dan Ketua Komisi Pendidikan Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN dan Hukum Administrasi Negara (HAN) se-Indonesia (2000).
Sejak 2000 hingga Agustus 2003, pria yang mempunyai motto “keadilan bagi orang-orang kecil bermakna keadilan bagi semua orang” ini mengabdi sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung (MA). Pada usia 62 tahun, atas pilihan MA, ia diangkat menjadi hakim konstitusi pada MK.
Mohammad Laica Marzuki (kelahiran Tekolampe, Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Mei 1941) adalah seorang hakim konsitusi pada Mahkamah Konstitusi.
 

 

0 komentar:

Posting Komentar